Sunday, May 25, 2014

[CHAPTERED FIC] Chess & Hourglass (Chapter 1)

Title : Chess & Hourglass (Prologue)
Cast(s) : OCs
Genre(s) : Fantasy, School Life, Romance

Rate : T


Chess and Hourglass


.

.
Untuk setiap orang yang masih setia mencari keajaiban ditengah kegelapan.
- - -
Alice membuka matanya perlahan. Dirinya sekarang bukan lagi berada di stasiun kereta london yang sunyi, melainkan bukit yang mengarah ke suatu pedesaan kecil. Matahari berada di ufuk timur menandakan hari masih pagi di tempat itu, memperkuat fakta bahwa dia kini tidak berada di London lagi. 
Gadis berambut panjang dan hitam itu menengadah, menatap dalam langit kota London yang kelam bertabur bintang gemerlap. Butiran-butiran salju jatuh perlahan, membentuk lapisan-lapisan putih di tanah. Hawa dingin menyusup lapisan pakaiannya yang sebenarnya sudah cukup tebal, menghasilkan uap putih yang segera menghilang dari mulutnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jam besar yang menggantung di tengah-tengah stasiun kereta itu. Oh, sudah jam sembilan rupanya.
"Excuse me, Miss.. are you Alice ?" terdengar suara seseorang laki-laki bertanya dengan aksen eropa yang kental dari balik tubuhnya, memecah keheningan malam. Gadis itu berbalik sambil memasang wajah tanpa ekspresi.


"Yes," jawab gadis itu singkat dengan nada datar. Kini di hadapannya berdiri seorang pria yang tampak berumur sekitar dua puluh tahun, berparas tampan dan berbalut jas formal. Jarak di antara mereka kira-kira dua meter, sebelum sosok itu berjalan mendekat dan membungkuk hormat pada gadis bernama Alice itu.
"Perkenalkan, Nona. Namaku Aaron dan mulai sekarang saya akan menjadi sekretaris anda," jelasnya dengan bahasa Indonesia yang fasih sambil menyunggingkan senyum lembut. Gadis itu mengangguk paham sambil membenarkan barang-barang bawaannya, sementara Aaron sudah berdiri tepat di sebelahnya. 
Setelah Alice sudah siap, Aaron membuka tangan kanannya, yang disambut dengan baik oleh gadis cantik itu. Mereka saling pandang dan tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangan mata mereka lurus. Kereta terakhir perlahan mulai berjalan, sebelum akhirnya melaju dengan cepat meninggalkan stasiun. Bersamaan dengan itu, sosok mereka hilang tanpa bekas, menghadirkan kesunyian kota London yang 'tak terusikkan.


Iris hitam itu menatap sekelilingnya yang dipenuhi pepohonan, sementara Aaron melepas genggamannya dan mulai berkutat dengan sesuatu di tangannya. Alice mengalihkan perhatiannya dari pepohonan dan menumbukkan pandangan pada benda yang terlihat seperti telepon genggam tersebut.
"Oh, kukira di Rules & Agreements tertulis benda elektronik biasa tidak bisa digunakan," ucap Alice sambil menatap Aaron dengan tanda tanya.
"Well, kita bahkan belum melewati kawasan transmigrasi, Nona," jawab Aaron seraya menyimpan telepon genggam itu ke dalam sakunya.
"Lagipula, benda yang kugunakan tadi bukan barang elektronik biasa," lanjutnya seraya tersenyum kecil dan mengecek jam tangan yang membalut manis di tangan kanannya. Alice mengangguk, memilih untuk tidak bertanya lebih dalam lagi.
"Baiklah, harusnya sebentar lagi akan datang," ucap Aaron final setelah meneliti jam tangannya sebentar. Alice mengangkat sebelah alis tanda bertanya, yang dijawab Aaron dengan arahan jari ke langit. Mata Alice mengikuti arah tangan Aaron, terpaku pada sesuatu di angkasa yang semakin lama semakin besar. 
Bentuknya tampak seperti kereta lokomotif panjang, melaju di atas langit dengan bantuan rel yang muncul sedikit demi sedikit searah dengan laju kereta. Akhirnya kereta itu mendarat sekitar lima meter dari tempat Alice dan Aaron berdiri, seperti menunggu penumpang untuk masuk. Detik berikutnya, banyak sosok-sosok bermunculan dari arah bukit dan hutan, berbondong-bondong berjalan menuju kereta itu. Aaron menggenggam tangan Alice untuk kedua kalinya dan menuntunnya menuju kereta itu.
Alice mengikuti langkah Aaron dengan kerepotan karena barang bawaannya yang masih setia berada di sisinya. Aaron mengambil beberapa tas yang ia tenteng, membantu Alice membawa barang-barang yang bisa dibilang cukup untuk mengisi satu lemari besar. 
Akhirnya setelah beberapa lama berkutat dengan barang bawaannya, Alice dan Aaron berhasil memasukkan semuanya ke dalam troli yang secara ajaib muncul sesaat setelah kereta itu mendarat, dan sepertinya memang sengaja disediakan. Alice memandang sekelilingnya, tampak banyak orang sepantaran sibuk melakukan hal yang sama, bedanya mereka tidak didampingi siapapun. 
Aaron mendorong troli itu seraya menggenggam tangan Alice untuk kesekian kalinya, menuntunnya ke arah gerbong keempat dari depan. Tiba-tiba, Aaron mendorong troli itu ‘menembus’ gerbong. Troli beserta tubuhnya benar-benar menembus lapisan kayu dan logam itu, menyisakan bola mata Alice melebar untuk beberapa detik. Sesaat berikutnya, Aaron keluar menembus gerbong itu lagi sambil tersenyum geli, lalu menarik Alice menembus masuk. Sensasinya agak aneh – terasa tidak memiliki berat, tapi itu hanya berlangsung selama beberapa detik. Sekarang mereka telah berdiri di dalam ruangan bergaya klasik yang ‘tak lain dan ‘tak bukan adalah isi gerbong tersebut.
“Bagaimana, cukup mengejutkan ? Anda harus bisa membiasakan diri, Nona,” ucap Aaron seraya memposisikan troli itu di ujung gerbong – yang mungkin memang dimaksudkan untuk troli itu – lalu mengambil gelas dari bar kecil di sana. Ia menuangkan susu coklat dingin ke dalam gelas itu layaknya pelayan restoran bintang lima, sementara Alice melepas jaket tebalnya – berhubung cuaca di sana tidaklah dingin – dan menerima segelas susu itu dari Aaron. 
Irisnya menatap sekitar, kagum akan interior gerbong yang terlihat sangat berkelas itu, lengkap dengan mini bar dan toilet pribadi. Tidak ada tanda-tanda kereta itu akan berangkat sebentar lagi, seperti menanti kedatangan rombongan lain untuk datang.
“Well, memang, tapi aku merasa familiar dengan semua ini, entah mengapa..” jawab Alice seraya duduk di sebuah sofa khas abad pertengahan dan menatap keluar jendela gerbong itu. Terlihat ada beberapa orang yang muncul secara tiba-tiba dari balik asap yang muncul entah darimana, dan ada juga yang muncul dari balik pepohonan. Mereka semua datang dalam diam, tanpa bicara dan tanpa suara. Rerumputan pun terlihat tidak terganggu dengan kehadiran mereka.
“Tidak mengherankan,” kata Aaron dengan senyum sambil duduk di sofa satunya, tepat berhadapan dengan Alice. Keheningan melanda mereka berdua untuk beberapa saat, sebelum pertanyaan Alice memecahkannya.
“Lalu, apa tidak ada orang lain yang akan menumpangi gerbong ini ? Maksudku, gerbong ini cukup untuk beberapa orang lagi,” Alice memperhatikan sekelilingnya. Terletak beberapa sofa kosong di bagian kiri dan depan gerbong. Tidak ada tanda-tanda munculnya penumpang baru, tapi di kereta dimana tidak dibutuhkan pintu untuk masuk, siapa yang tahu ?
Aaron tersenyum simpul sambil mengikuti arah mata Alice, yang saat ini sedang terpaku pada kumpulan miniatur kendaraan dan bangunan yang tertata sangat rapi di bagian kiri belakang gerbong.
“Ya, nanti hanya akan ada dua penumpang lagi, berhubung ini adalah gerbong untuk VIP atau kaum elit,” jawab Aaron. Terselip nada geli di sana, tapi juga maklum dan jujur. Ia mengeluarkan telepon genggamnya dan berkutat dengan itu untuk kedua kalinya, sesekali mencuri pandang ke arah jendela gerbong. 
Alice mengangguk paham, lalu menatap gelas yang isinya tinggal setengah itu dengan datar. Setelah keheningan kembali melanda mereka, Alice merogoh tas selempang kecilnya dan mencari-cari sesuatu.
Setelah beberapa saat mengaduk-ngaduk tas berwarna hitam itu, akhirnya ia mengeluarkan sesuatu berbentuk persegi kecil dengan kabel menggantung di bawahnya. Tidak salah lagi, itu adalah MP3 player. Ia memasangkan earphone cablenya dengan tenang, sementara kini giliran Aaron yang mengangkat alis.
“Kukira anda sebelumnya tidak tahu,” ucap Aaron dengan ekspresi heran, namun seperti maklum. Alice mengangkat bahunya sambil mulai mengutak-ngatik MP3 itu.
“Tahu tidaknya aku, aku pasti akan membawa ini. Lagipula, ini juga bukan ‘barang elektronik biasa’,” jawab Alice menanggapi Aaron dengan nada datar, lalu menekankan sedikit di bagian ‘barang elektronik biasa’. Aaron tertawa kecil, lalu melirik ke arah jam dinding yang bertengger tenang di gerbong itu. Delapan lewat lima.
“Well, kurasa sebentar lagi kedua penumpang lain akan datang,” ucap Aaron setengah berbisik, seakan berbicara pada diri sendiri sambil tersenyum simpul.




0 comments:

Post a Comment